Minggu, 19 Maret 2017

Tate no Yuusha no Nariagari: Volume 1 Chapter 10 (Bahasa Indonesia)



Paket Makan Anak-Anak

“Kau...”

Oyaji sungguh terkejut ketika melihatku membawa Raphtalia masuk ke Toko Senjata bersamaku. Ya, demi membuatnya bisa bertarung dengan efisien... dia membutuhkan lebih banyak kekuatan serangan. Jadi tidak masuk akal kalau dia tak kubelikan sebuah senjata.
[TL Note: mulai di chapter ini, penjaga toko mulai dipanggil ‘Oyaji’ yang dalam bahasa Jepang panggilan kepada orang yang lebih tua dan cukup dikenal. Kalau di Indonesia kita menyebutnya Om atau Paman.]

“Kasih aku senjata yang harganya sekitar 6 koin perak yang bisa digunakan gadis ini.”
“...Hah.”

Si penjaga Toko Senjata menghela napas panjang.

“Apakah memang negeri ini yang sudah rusak, atau kau yang telah jatuh terlalu dalam ke dalam kegelapan... yah terserah, lagian aku tetap akan mendapat 6 koin perak itu.”
“Apakah kau masih punya barang sisaan lainnya seperti baju biasa atau sebuah jubah?”
“...Tak usah khawatir. Akan ku tambahkan itu secara gratis.”

Oyaji menggerutu dengan semacam nada ... sembari membawa beberapa pisau.


“Barang-barang ini harganya di bawah 6 koin perak dan di bawah rata-rata.”

Dari kiri ke kanan, terdapat pisau yang dibuat dari: Kuningan, Tembaga, dan Besi.
Barang-barang itu punya nilai serangan yang sama, tapi harganya berbeda-beda. Aku menyuruh Raphtalia memegang setiap pisau tersebut beberapa kali sebelum memilih satu yang paling cocok untuknya.

“Yang satu itu bagus.”

Muka Raphtalia memucat ketika ia menatapku dan Pak tua itu dengan pisau di tangannya.

“Ini, baju dan mantel gratismu.”

Oyaji menyerahkannya padaku dengan semacam dorongan kasar dan menuntun kami ke ruang ganti. Aku mengambil pisau Raphtalia dan menyuruhnya untuk memakai baju yang Oyaji berikan. Raphtalia berjalan terhuyung-huyung ke ruang ganti sembari terus terbatuk-batuk; lalu dia pun berganti baju.

“Dia masih terlihat berantakan... mandikan dia kapan-kapan.”

Di luar sana ada sebuah sungai di dekat padang rumput. Di negeri ini, sungai itu terbagi menjadi beberapa cabang yang mengalir ke daratan yang lebih rendah. Baru saja tempat kemahku berpindah ke daerah itu.
Tempat itu sungguh cocok untuk ditinggali karena aku bisa memancing kapan saja untuk makananku. Beberapa ikan yang kutangkap diserap oleh perisaiku, membuka efek dari ‘Perisai Ikan’ dan hasilnya aku mendapat 1 poin Teknik Memancing.
Raphtalia dengan malu-malu mendekat padaku setelah selesai berganti pakaian. Sepertinya dia tahu kalau mengabaikan perintahku hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Aku berjongkok dan menatap sejajar mata Raphtalia dan berbicara padanya.

“Nah sekarang, Raphtalia, ini adalah senjatamu. Mulai dari sekarang, kau dan aku akan bertarung melawan monster bersama-sama. Kau paham dengan apa yang kukatakan?”
“...”

Raphtalia hanya menjawab dengan anggukan dengan tatapan takut. Bagus, karena akan sangat merepotkan kalau dia tak paham.

“Nah sekarang, dengan pisau di tanganmu itu-- --“

Kukeluarkan Orange Balloon yang kusembunyikan di dalam jubahku dan menyodorkannya di depan Raphtalia.

“Tusuk dan belah makhluk ini.”
“Hiii!?”

Ketika kutunjukkan monster yang kusembunyikan padanya, Raphtalia menjerit terkejut dan menjatuhkan senjatanya.

“eh... Ti-...Tidak.”
“Ini adalah perintah. Lakukan.”
“A-, Aku tak bisa.”

Raphtalia menggelengkan kepalanya berulang kali. Tapi, kemudian dia menerima sentakan rasa sakit dari mantra budak karena pembangkangannya.

“Uhh...”
“Ayolah, kau hanya akan terus merasakan sakit kalau kau tak membunuh makhluk ini.”
“*Uhuk... uhuk!*”

Wajah Raphtalia mengerut kesakitan saat dia perlahan mengambil senjatanya.

“Kau...”

Oyaji tak bisa berkata apa-apa saat dia melihat kejadian kecil ini. Raphtalia perlahan menguatkan tekadnya untuk membunuh saat kudorong Orange Balloon yang sedang menggigit tanganku.
Buni...

“Terlalu lemah! Berikan lebih banyak tenaga!”
“..!? Ei!”

Terkejut, Raphtalia tersentak mundur untuk sesaat. Lalu segera menggunakan momentumnya, sekali lagi Raphtalia menyerang Balloon itu dengan tenaga yang kuat.
*DOR!*
Balloon itu meletus dengan suara yang lantang.

EXP 1

Untuk pertama kalinya, sebuah kotak pesan muncul dan menyatakan bahwa sekutuku telah mengalahkan musuh. Belum lagi, pikiranku terisi penuh oleh rasa haus darah. Wanita jalang itu. Dia tak pernah punya keinginan untuk tinggal bersamaku atau mengajariku bagaimana sistemnya berjalan.

“Bagus, kau berhasil.”

Kuelus kepala Raphtalia. Lalu dia menatapku dengan tatapan bingung.

“Oke, sekarang selanjutnya adalah ini.”

Balloon terkuat yang kutemui selama ini yang masih menempel padaku, mencoba untuk mengunyahku dengan gigitannya. Kupegang Red Balloon yang sedang mengunyahku itu seperti saat ku memegang Balloon yang tadi. Red Balloon ini tak memakan atau meminum apapun selama satu minggu ini, jadi kupikir Red Balloon itu kondisinya sudah melemah.
Tapi meskipun begitu, makhluk ini mungkin masih tetap bisa menahan sebuah serangan dari seorang gadis kecil pemula yang pesakitan. Dengan digap, Raphtalia menganggukan kepalanya dan menusuk mata Balloon itu lebih kuat dari sebelumnya.

DOR!

EXP 1
EXP untuk rekan 6

Lalu ikon yang muncul itu menarik perhatianku.

“Bagus, mulai sekarang, kita akan bertarung seperti ini; ayo pergi.”
“...*Uhuk*”

Raphtalia mematuhi perintahku, menyarungkan kembali pedangnya dan menaruhnya di sekitar pinggangnya lalu tanpa ragu mengikutiku.

“Hei, hei kawan. Aku punya satu hal yang ingin kukatakan padamu.”
“Ada apa?”

Oyaji menggerutu sembari cemberut kepadaku.

“Jangan SAMPAI, KAU, MATI, TAK TERHORMAT, kau dengar?”
“Akan kuingat kata-kata itu dalam hati.”

Kubalas kalimat sarkasmenya dengan jawabanku sendiri. Kami segera menuju ke padang rumput, dan aku melihat beberapa toko dan kedai jalanan di pinggiran jalan yang terus membentang sejauh mata memandang. Sembari Raphtalia memegang erat tanganku dan berjalan di sisiku, dia menatap ke sekeliling kota tanpa henti. Kedai-kedai itu mengeluarkan bau yang sangat menggoda.
Sisa uangku setelah belanja tadi: 3 koin perak... Kalau diingat-ingat, aku juga belum makan.
*Kruyuk...*
Suara yang kudengar itu berasal dari arah Raphtalia. Lalu dia memalingkan wajahnya sambil berkata:

“Ah!”

Meski dia mencoba untuk menolak apa yang telah terjadi pada dirinya... Aku heran mengapa dia menahannya. Saat ini, kalau Raphtalia tak punya kekuatan untuk melawan musuh, maka aku takkan mendapat hasil apapun nanti. Sebuah pisau yang tumpul sama saja tak berguna. Dia takkan bisa mengerahkan kekuatannya kalau dia lapar. Aku pun masuk ke dalam sebuah restoran yang kelihatannya cukup untuk ukuran uangku.

“Sela-...mat datang!”

Pelayan itu pun menuntun kami ke sebuah meja dengan tampang tak senang, karena penampilan kami yang berantakan. Saat kami berjalan, Raphtalia melihat ke beberapa pasangan orang tua dan anaknya yang duduk di mana-mana. Dengan jari telunjuk menempel di bibirnya, Raphtalia terlihat sedikit iri kepada anak-anak yang tengah memakan paket makanan anak itu. Kurasa dia juga ingin memakannya. Kami pun duduk dan segera memesan sebelum pelayan itu pergi meninggalkan kami.

“Anu, Aku pesan menu makanan yang paling murah, sedang gadis kecil ini, pesankan dia apalah itu sama dengan yang sedang dimakan oleh bocah yang ada di sana.”
“!?”

Raphtalia menatapku jelas dengan kagum. Apakah sangat mengejutkan untukku memesankan makanan itu untuknya?
...
Orang-orang disekitar kami pun mulai menggosip setelah menyadari kehadiranku. Yep, ini benar-benar sebuah dunia paralel di sini.

“Ken-apa?”
“Hm?”

Kuturunkan tatapanku karah wajah Raphtalia setelah mendengar suaranya. Dia menatap ke arahku dengan wajah penuh penasaran.

“Kau terlihat lapar dan sangat menginginkan makanan itu, kan? Atau kau ingin memesan sesuatu yang lain?”

Raphtalia menggelengkan kepalanya dengan cepat hingga sebuah suara hembusan bisa tedengar dari pergerakannya. Ini sungguh topik yang menarik untuknya.

“Ke-,kenapa, kau memperbolehkanku memakan menu itu?”
“Kan sudah kubilang, aku memesannya karena kau kelihatan menginginkannya.”
“Tapi...”

Mengapa dia jadi sangat keras kepala dengan hal ini?

“Lagian, makanlah beberapa makanan dan dapatlah beberapa nutrisi. Kau akan mati kalau kau terlalu kurus, kau mengerti?”

Yah, karena aku baru saja membeli budak baruku, aku tak bisa membiarkannya mati di hadapanku sebelum dia bisa memberikan balik modal dengan pendapatannya.

“Maaf sudah membuat anda menunggu.”

Makanan kami pun akhirnya datang. Apakah itu makanan yang aku pesan untuk Raphtalia? Itu sebuah set makan daging babi (?) yang besarnya seukuran tangan orang dewasa.
Mhm. Paling tidak dari tampilannya kelihatan sangat enak.

“...”

Raphtalia terdiam di tempat sembari mungkin berpikir seperti “Apakah paket makan anak-anak ini benar-benar dihidangkan untukku?”

“Kau tak ingin memakannya?”
“...Apakah benar-benar boleh?”
“Hah... tentu saja boleh, jadi makanlah.”

Raphtalia pun mulai memakannya dengan semangat.. Wajah Raphtalia sedikit berubah setelah mendengar perintahku.

“Baik.”



Dengan semangat Raphtalia mulai memakan paket makan anak-anaknya dengan tangan kosong. Yah, mau bagaimana lagi, karena dia juga tumbuh di lingkungan yang kumuh. Entah mengapa kelihatannya jumlah gosip yang mulai beredar telah bertambah lagi. Walau hal itu bukanlah sebuah masalah yang perlu aku pusingkan. Raphtalia dengan senang memegang bendera yang telah di tancapkan di nasi ayam yang disusun seperti gunung di makanannya.

*Nyam nyam nyam*

Lalu Raphtalia mulai mengunyah setiap hidangan yang ada di paket makannya. Jadi aku akan memakan makananku bersama dengan budak ini mulai dari sekarang... hanya sebuah pikiran tunggal yang terlintas di benakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar